Kamis, 19 April 2012

#teori kepemimpinan #tugas 4

#teori kepemimpinan #tugas 4
Pada tulisan kali ini saya akan mengambil contoh perusahaan Sony yang mengalami kebangkrutan dan manakah teori kepemimpinan yang cocok untuk kasus tersebut

Pecat 10.000 karyawannya…itulah rencana yang baru saja kita dengar, Sony berencana merumahkan 10.000 karyawannya, akibat kerugian yang dideritanya. Gak tanggung-tanggung jumlahnya, kerugian yang diderita sebesar 6.4 Milyar dollar (sumber: CNET Asia, Wall Street Journal). Padahal kita tahu Sony merupakan salah satu perusahaan paling kreatif dimuka bumi.
Siapa yang gak kenal Sony, perusahaan elektronik raksasa?
Jauh sebelum demam Ipod dari Apple, Sony-lah yang mempopulerkan produk Walkman, dimana hanpir diseluruh dunia tercipta demam mendengarkan musik melalui earphone. Sony juga yang menyebabkan anak-anak hingga orang dewasa keranjingan main PlayStation.
Di Indonesia, maen PS (PlayStation) sudah jadi satu hobi, bahkan menjadi peluang bisnis banyak orang, dengan maraknya penyewaan2 PS di perkotaan bahkan hingga gang-gang di perkampungan kumuh. Artinya secara “brand awareness” pastinya sudah sangat tinggi. Kalo mau dinilai -andaikata bangkrut- pastilah nilai dari “brand value”nya saja sudah gila-gilaan. Tapi pada kasus Kodak, brand value yang tinggi tetap tidak dapat menyelamatkannya dari kebangkrutan.
Di pasar handphone, seperti di Indonesia juga, duet brand Sony dengan Ericsson juga belum ampuh untuk memenangkan persaingan. Pasar hanphone murah dikuasai merek-merek China, sementara di pasar smartphone, I-Phone (Apple) dan Samsung lebih populer.
Ditahun-tahun teakhir focus pengembangan produk di Camera Digital juga mendapat sambutan pasar yang positif…bahkan mulai masuk ke pasar DSLR yang selama ini dikuasai Canon & Nikon.
Namun segala inovasi tersebut nyatanya tidak dapat membantu Sony lolos dari kerugian. Pasar TV yang selama ini jadi andalan Sony terus merosot drastis. Pada Era flat TV, LCD, LED…Sony terseok-seok dalam persaingan. Munculnya perusahaan2 inovatif Korea, bahkan ditambah juga merk2 murah China, satu-satunya menyelamatkan diri dari kebangkrutan dengan merubah haluan bisnis.
Tentu kisah Kodak menjadi pelajaran berharga bagi banyak perusahaan elektonik raksasa. Kesulitan bisnis Blackberry juga belum reda diperbincangkan. Seperti semua yang ada di dunia ini, nampaknya tak ada yang abadi.
Tidak banyak pilihan bagi para top executif di Sony. Gelagatnya Sony akan focus di produk-produk lain. Kita nantikan saja inovasi dari Sony…karena persaingan pada akhirnya akan menguntungkan konsumen…..iya nggak?

DEFINISI KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara suka rela (Fairholm, 1991; Gardner, 2000). Bahkan menurut Gemmil dan Oakley (1992) kepemimpinan adalah sebuah proses kerjasama antara anggota organisasi dalam merumuskan metode baru untuk meningkatkan kualitas organisasi. Fulan (2000, hal. 3) mengatakan bahwa “leadership is a process of persuasion or example by which an individual (or leadership team) induce the group to pursue objectives shared by the leaders and his or her followers”. Fulan berpendapat bahwa kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi anggota organisasi lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan oleh pemimpin dan anggota organisasi lainnya. Ini artinya bahwa kepemimpinan bukan hanya didefinisikan dari sudut jabatan, tapi lebih tepatnya, kepemimpinan ini adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa paksaan untuk mencapai sesuatu yang sudah dirumuskan sebelumnya oleh anggota organisasi.
KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN
Istilah kepemimpinan dan manajemen seringkali dianggap sinonim (Yukl, 1989), tapi para ahli ilmu kepemimpinan masih mengalami kesulitan membedakan kedua istilah tersebut. Fairholm (1991) menyebutkan walaupun kedua istilah tersebut sering dianggap sama, istilah kepemimpinan lebih duluan muncul dari pada istilah manejemen. Namun Nicholls (2002) berbeda pendapat dengan Fairholm, Nicholls berpendapat bahwa manajemen itu lebih penting daripada kepemimpinan. Para ahli juga berbeda pendapat apakah seseorang bisa menjadi pemimpin sekaligus manajer pada saat yang sama. Perbedaan-perbedaan pendapat ini pulalah yang mengaburkan perbedaan antara kepemimpinan dengan manajemen (leadership and management).
Namun demikian, di sini perbedaan dari kedua istilah tersebut akan dianalisa dengan menguraikan definisi dari kedua istilah tersebut. Kepemimpinan adalah sebuah proses di dalam memberi inspirasi kepada anggota organisasi lainnya, dan mempengaruhi anggota tersebut untuk memiliki integritas di dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, pemimpin itu bertugas untuk menentukan visi organisasi dan selalu memprediksi kebutuhan masa depan (Fairholm, 1991). Sedangkan tugas menejer adalah mengelola integritas bawahan dan mempertahankan status Quo. Menejer tidak berinisiatif untuk menentukan visi organisasi. Singkatnya menejer lebih memikirkan bagaimana suatu pekerjaan itu dilakukan dengan se-efektif dan se-efesien mungkin sehingga produktifitas organisasi bisa terjaga.
TEORI KEPEMIMPINAN
1. TEORI KEPEMIMPINAN CONTINGENCY FIEDLER (Matching Leaders and Tasks)

Fiddler mendefinisikan efektivitas pemimpin dalam hal performa grup dalam mencapai tujuannya. Fiddler membagi tipe pemimpin menjadi 2: yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada maintenance. Dari observasi ini ditemukan fakta bahwa tidak ada korelasi konsisten antara efektifitas grup dan perilaku kepemimpinan.

Pemimpin yang berorientasi pada tugas akan efektif pada 2 set kondisi.

• Pada set yang pertama, pemimpin ini sangat memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang didelegasikan pada anggota sangat terstruktur dengan baik, dan memiliki posisi yang tinggi dengan otoritas yang tinggi juga. Pada keadaan ini, grup sangat termotivasi melakukan tugasnya dan bersedia melakukan tugas yang diberikan dengan sebaik-baiknya.

• Pada set yang kedua, pemimpin ini tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang diberikan tidak jelas, dan memiliki posisi dan otoritas yang rendah. Dalam kondisi semacam ini, pemimpin mempunyai kemungkinan untuk mengambil alih tanggung jawab dalam mengambil keputusan, dan mengarahkan anggotanya.

Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi2 yg spesifik.Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach.Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tsb harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektip dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
2. MODEL KEPEMIMPINAN NORMATIF MENURUT VROOM DAN YETTON (Normative Theory: Decision Making and Leader Effectiveness: Vroom & Yetton, 1973)
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan2 yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan ybs melaksanakan tugas2 pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Dalam mengambil keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya? Dengan kata lain seberapa jauh para bawahannya diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan?
Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.Namun seberapa jauh partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan akan diberikan pemimpinnya? Jawabannya adalah Normative Theory dari Vroom and Yetton.
Vroom dan Yetton (1973) mengembangkan model kepemimpinan normatif dalam 3 kunci utama: metode taksonomi kepemimpinan, atribut-atribut permasalahan, dan pohon keputusan (decision tree). 5 tipe kunci metode kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973):
1. Autocratic I: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang saat ini terdapat pada pemimpin.

2. Autocratic II: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian informasi yang mereka berikan.

3. Consultative I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu membuat keputusan.

4. Consultative II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.

5. Group II: berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok, serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.

Tidak ada satupun dari metode ini yang dianggap terbaik untuk diterapkan pada berbagai situasi. Para pemimpin harus mencocokkan metode kepemimpinan dengan situasi yang ada. Ada 7 atribut dari situasi yang harus diambil dalam memutuskan metode kepemimpinan seperti apa yang harus digunakan (Vroom & Yetton, 1973):

1. Adakah kualitas lain yang lebih rasional daripada solusi yang telah ada?

2. Apakah saya memiliki informasi dan keahlian yang cukup untuk membuat sebuah keputusan yang berkualitas tinggi?

3. Apakah masalahnya terstruktur?

4. Apakah penerimaan subordinat saya terhadap keputusan yang saya buat akan mempengaruhi efektivitas dalam implementasi keputusan saya?

5. Jika saya harus membuat keputusan sendiri, apakah keputusan saya dapat diterima secara beralasan oleh subordinat saya?

6. Apakah subrodinat saya memiliki tujuan organisasi yang sama dengan saya saat memecahkan masalah ini?

7. Apakah konflik akan terjadi di kalangan subordinat saya ketika solusi ini terpilih?

Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut terspesifikasi melalui metode kepemimpinan macam apa yang paling tepat diterapkan pada situasi tertentu. Jawaban “ya” dan “tidak” akan mengarah pada pohon keputusan (decision tree) yang membantu pemimpin untuk melanjutkan tanggungjawabnya. Aturan Yang Dirancang Untuk Mendukung Dan Melindungi Hasil Penerimaanm Keputusan ; Vroom & Yetton, 1973:

Penerimaan Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, menghilangkan gaya otokratis.
Konflik Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, dan mereka memegang pendapat yang saling bertentangan atas sarana untuk mencapai beberapa tujuan, menghilangkan gaya otokratis.
Keadilan Aturan: Jika kualitas keputusan penerimaan tidak penting tapi penting, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Penerimaan Aturan Prioritas: Jika penerimaan sangat penting dan tidak pasti hasil dari keputusan otokratis, dan jika súbor-dinates tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang sangat partisipatif.
3. TEORI PATH-GOAL DALAM KEPEMIMPINAN
Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.

Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).

Bawahan sering berharap pemimpin membantu mengarahkan mereka dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain bawahan berharap para pemimpin mereka membantu mereka dalam pencapaian tujuan2 bernilai mereka. Ide di atas memainkan peran penting dalam House’s path-goal theory yang menyatakan bahwa kegiatan2 pemimpin yang menjelaskan bentuk tugas dan mengurangi atau menghilangkan berbagai hambatan akan meningkatkan persepsi para bawahan bahwa bekerja keras akan mengarahkan ke kinerja yg baik dan kinerja yg baik tsb selanjutnya akan diakui dan diberikan ganjaran.

Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.

Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:

Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003) :

1. Instrumental (directive) àInstrumental (directive): suatu pendekatan yang berfokus pada penyediaan bimbingan tertentu, menetapkan jadwal kerja dan aturan. Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan

2. SupportiveàMendukung: sebuah gaya terfokus pada membangun hubungan baik dengan bawahan dan memuaskan kebutuhan mereka. Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.

ParticipativeàPartisipatif: suatu pola di mana pemimpin berkonsultasi dengan bawahan, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan
Achievement-orientedàPrestasi berorientasi: suatu pendekatan di mana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mencari perbaikan dalam kinerja. Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).

1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:

1) Letak Kendali (Locus of Control)

Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.

2) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)

Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.

3) Kemampuan (Abilities)

Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.

2. Karakteristik Lingkungan
pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:

1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.

2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.

Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:

1) Struktur Tugas

Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.

2) Wewenang Formal

Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi

3) Kelompok Kerja

Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.

Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.

MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
DAFTAR PUSTAKA
P.Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Wirawan, Sarlito. (2005).Psikologi Sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan).Jakarta :Balai Pustaka.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.

Jumat, 13 April 2012

KEPEMIMPINAN

KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya.
pemimpin adalah seseorang yang memiliki keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama.
Kepemimpinan menurut para ahli
Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).

1. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu
Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7
2. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Rauch & Behling, 1984, 46
3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama
Jacobs & Jacques, 1990, 281
4. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan

PEMIMPIN YANG BERHASIL

Pemimpin yang berhasil adalah memimpin yang bisa mengayomi dan membimbing kelompok yang dipimpin menuju kea rah dan tujuan yang baik atau menuntun kelompok menuju kea rah yang di harapkan atau telah di cita citakan.
Pemimpin yang baik memiliki cirri cirri seperti berikut
Pemimpin yang selalu bersikap adil dan mengedepankan kebenaran
Pemimpin yang selalu melindungi warganya serta mengayomi
Pemimpin yang selalu mengedepankan kesejahteraan rakyatnya
Pemimpin yang dapat mengambil keputusan,dalam kondisi apapun
Pemimpin yang mau bekerja sama dengan orang lain
Pemimpin yang baik selalu memikirkan nasib rakyatnya , bagi nasib rakyatnya kedepan dan selalu menomorsatukan rakyatnya ,pemimpin yang dapat hidup sederhana ,mengikuti pola hidup rakyatnya. Tidak banyak menuntut fasilitas semata .atau hanya untuk memperkaya diri masing masing

PEMIMPIN YANG GAGAL

Menurut saya pemimpin yang gagal adalah pemimpin yang tidak bisa membawa rakyat nya menuju ke arah cita cita yang diharapkan bersama, pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri beserta beberapa golongan tertentu.
Pemimpin yag gagal juga dapat dinilai dari taraf hidup di negaranya . jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan juga dapat di jadikan titik acuan untuk menilai seberapa gagal kah seorang pemimpin dalam mensejahterakan rakyatnya.

Kamis, 05 April 2012

Perilaku antar kelompok dan manajemen konflik

Nama : Melati Puji Lestari
Npm : 14210336
Kelas : 2ea18


Perilaku antar kelompok dan manajemen konflik
Pengertian konflik menurut pendapat beberapa ahli adalah :
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)

Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.




 Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.

2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.

Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).


 . Sumber terjadinya konflik antara kelompok
Beberapa hal umum yang kita ketahui tentang munculnya konflik dalam kelompok adalah ketidak percayaan ada anggota kelompok lain, kurangnya kekuatan seorang pemimpin kelompok, atau penangkapan informasi yang salah yang dapat membuat salah paham para anggota kelompok.
Kurangnya rasa kepercayaan terhadap sesama, itu akan menimbulkan konflik antar kelompok. Kurangnyya peran seorang pemimpin dari sebuah kelompok.
Istilah konflik cenderung menimbulkan respon-respon yang bernada ketakutan atau kebencian, padahal konflik itu sendiri merupakan suatu unsur yang penting dalam pengembangan dan perubahan. Konflik dapat memberikan akibat yang merusak terhadap diri seseorang, terhadap anggota-anggota kelompok lainnya, maupun terhadap masyarakat. Sebaliknya, konflik juda dapat membangun kekuatan yang konstruktif dalam hubungan kelompok. Konflik merupakan suatu sifat dan komponen yang penting dari proses kelompok, yang terjadi melalui cara-cara yang digunakan orang untuk berkomunikasi satu sama lain..
Konflik mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih luas daripada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar dan perang. Dasar konflik berbeda-beda.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibeda-bedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu, sampai kepada lingkup yang luas, yakni masyarakat.

 Konsekuensi Konflik Disfungsional Antar Kelompok
1. Perubahan dalam kelompok
- Meningkatkan kekompakan kelompok
- Timbulnya kepemimpinan otokratis dalam situasi konflik yang ekstrim dan ketika ancaman mulai terlihat cara kepemimpinan demokratis menjadi kurang populer, para pemimpin menjadi lebih otokratis.
- Fokus pada aktivitas
- Menekankan pada loyalitas

2. Perubahan di antara kelompok
- Destorsi persepsi
Persepsi dari setiap anggota kelompok menjadi terganggu, para anggota kelompok mengembangakan pendapat yang lebih kuat akan pentingnya kesatuan mereka.
- Stereotip yang negatif
Sejalan dengan meningkatnya konflik dan presepsi menjadi lebih terganggu, semua stereotip yang negatif yang pernah ada menguat kembali.
- Penurunan komunikasi
Dalam konflik komunikasi di antara kelompok biasanya terputus. Ini biasanya menjadi sangat tidak berguna, khususnya jika ada saling ketergantungan yang berurutan atau timbal balik.

 Pengelompokan konflik antara kelompok

1. Konflik Dalam Diri Seseorang
Seseorang dapat mengalami konflik internal dalam dirinya karena ia harus memilih tujuan yang saling bertentangan. Ia merasa bimbang mana yang harus dipilih atau dilakukan konflik dalam diri seseorang juga dapat terjadi karena tuntutan tugas yang melebihi kemampuannya.
2. Konflik Antar Individu
Konflik antar individu terjadi seringkali disebabkan oleh adanya perbedaan tentang isu tertentu tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentukan.
3. Konflik Antar Anggota Kelompok
Suatu kelompok dapat mengalami konflik subtantif atau konflik afektif. Konflik subtantif adalah konflik yang terjadi karena latar belakang keahlian yang berbeda.
4. Konflik Antar Kelompok
Konflik antar kelompok terjadi karena masing-masing kelompok ingin mengejar kepentingan atau tujuan kelompoknya masing-masing. Misalnya konflik yang mungkin terjadi antara bagian produksi dengan bagian pemasaran.
5. Konflik Intra Organisasi
Konflik intra organisasi meliputi 4 sub jenis yaitu konflik vertical, horizonal, lini staf, peran konflik vertical terjadi antara manajer dengan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan suatu tugas. Konflik horizontal terjadi antara karyawan atau departemen yang memiliki hirarki yang sama dalam organisasi.
6. Konflik Antar Organisasi
Konflik bisa juga terjadi antara organisasi karena mereka memilik ketergantungan satu sama yang lain terhadap pemasok, pelanggan, mapun distributor. Seberapa jauh konflik terjadi tergantung kepada seberapa besar tindakan suatu organisasi menyebabkan adanya dampak negatif terhadap organisasi yang lainnya, atau mencoba mengendalikan sumber-sumber vital organisasi.

Contoh sebuah konflik:
"Konflik antara masyarakat yang kerap trjadi dikabupaten Mimika, seringkali disebut sebagai perang suku".
Selama ini intensitas konflik di Timika makin tinggi.setiap kali terjadi konflik maka aparat keamanan langsung terjun mengamankanya.Timika sering diplesetkan tiap minggu kacau.bukan timika jika tidak ada kekecauan dan konflik, bentrok ataupun kerusuhan masih segar dalam ingatan kita bahwa di Timika selalu terjadi konflik antar suku.Konflik antar PT.freeport indonesia ( PT FI) dengan warga setempat juga turut mewarnai didaerah tersebut.sebagai contoh kerusuhan yang terjadi tahun 1996 kerusuhan yang telah menelan korban jiwa pada masyrakat sipil dan korban materil yang tidak terhitung jumlahnya. saat itu, pihak perusahaan menggunakan jasa keamanan untuk menembaki, memperkosa, meneror dan mengancam warga papua.
Konflik di Timika papua akhirnya menghasilakan pemberian dana 1 persen dari pendapatan bersih PT FI pertahun untuk masyarakat amungme dan kamoro.walaupun dana 1 persen itu lebih banyak digunakan untuk kepentingan PT FI itu sendiri.
Konflik berikutnya adalah antara masyarkat denagan pemerintah.sebagi contoh kerusuhan menyikapi rencana pemerintah pusat untuk pemekaran provinsi papua tengah dan ibukota di timika.konflik ini terjadi pada tahun 2004 yang menyebabkan warga sipil tewas terkena panah.
konflik tang sering terjadi di timika juga antara masyrakat dan masyarakat.contohnya konflik saring menyerang antara suku dani dan suku damai.bahkan dalam catatan telah sepuluh kali terjadi di timika, s[erti konflik antara suku dani dan damai di Kwamki Lama dan juga konflik berlanjut di Banti dan Kimbeli di Tembagapura dekat PT FI mengeksploitasi emas, tembag dan mineral lainya.
Konflik selanjutnya adalah antara aparat keamanan sendiri.contoh kasus seperti aparat TNI menyerang pos polantas di Timika indah, dalam konflik ini sejumlah pihak mengalami kerugian yang cukup besar.
Timika sebagai daerah perusahaan merupakan magnet bagi para imigran yang datang dari luar papua untuk mencari kehidupan yang lebih layak dengan mencari pekerjaan di timika, lantaran adanya perusahaan asing yang bertaraf internasional yang kini mampu menampung karyawan sebanyak 19.000 orang.
belum lagi banyaknya karyawan disejumlah perusahaan swasta maupun pemerintahan di timika yang berdomisili warga pendatang. kondisi ini menggambarkan bahwa jumlah warga luar papua yang masuk ke timika lebih dari angka 200an/perhari.
Selain itu timika sebagai kota perusahaan dengan alasan pengamanan alat vital milik PT FI maka pemerintah pusat selalu mengirim pasukan dalam jumlah tertentu.oleh karena itu tak jarang terjadi konflik antara aparat keamanan dengan warga sipil maupun antra aparat keamanan sendiri.
faktor penyubur lainya adalah sektor pendidikan dan kesehatan yang tak berjalan dengan baik.ibaratnya jika masyarakat berpendidikan baik tidak akan mudah terpengaruh oleh rayuam provokator sehingga tidak akan mudah timbul konflik.begitupun dengan kesehatan jika warganya sehat dengan asupan gizi yang cukup maka tak ada alasan bagi masyarakat stempat untuk terlibat dalam konflik.persoalan yang selalu menimbulkan terjadinya konflik juga lantaran penjualan minuman keras yang tidak terkontrol,sejumlah pengusaha beroperasi walaupun tidak memiliki izin dari pihak pemerintah setempat.terdapat juga miras oplosan yang berbahaya bagi manusia.dala banyak kasus, miras juga menjadi penyebab konflik yang berkepanjangan di timika.namun hal ini yak pernah disikapi pemerintah daerah setempat.
untuk menekan makin tingginya konflik di timika, maka aparat keamanan sangat diharapkan untuk segera bertindak dan mengamankan para provokator agar jangan meletus lagi konflik antar suku dani dan suku damai, suka ataupun tidaksuka, percaya atau tidak institusi militer seringkali dituduh sebagai penyulut konflik berkepanjangan bukan hanya di timika tetapi diseluruh tanah papua.Contoh konflik-konflik diatas selalu terjadi di timika papua dan telah membuka peluang untuk timbul lagi konflik lama karena dalam proses penyelesaian tidak pernah tuntas.keadilan dalam penyelesaian kasus konflik bagai"panggang jauh dari bara"